Sejarah HMI bukanlah sejarah HMI semata. Sejarah HMI adalah sejarah
pergumulan umat dan bangsa di bumi nusantara. Tepatnya, sejarah
pergumulan kaum intelegensia muda Islam-Indonesia dalam interaksinya
dengan umat dan bangsa di bumi nusantara. Dengan pemaknaan demikian,
maka makna kehadiran HMI tidak bisa dilihat hanya sejak tahun 1940-an
ketika Lafran Pane dkk, menjadi mahasiswa dan berinisiatif mendirikan
HMI hingga saat ini, melainkan harus ditarik jauh hingga ke masa
pemberlakuan politik etis Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada akhir
abad ke-19 masehi; dan bahkan ditarik hingga abad ke-13 masehi ketika
pertama kali Islam masuk di bumi nusantara. Penarikan sejarah yang jauh
ke belakang ini untuk menggapai makna yang lebih utuh karena makna
kelahiran dan keberadaan HMI merupakan bagian integral dari semangat
Islam masuk ke bumi nusantara dan semangat perjuangan kaum intelegensia
muslim sebagai ‘blok historis’ yang menginisiasi kelahiran Negara
Republik Indonesia pada awal abad ke-20.
HMI merupakan produk sejarah yang tak terhindarkan dari dua peristiwa
penting sejarah (umat) Islam di bumi nusantara, yakni sejarah permulaan
Islam masuk di bumi nusantara dan sejarah kebangkitan muslim nusantara
(yang dipimpin kaum intelegensia) untuk membebaskan bumi nusantara dari
penjajah kolonial Belanda. Pemaknaan yang seperti ini bukanlah sesuatu
yang mengada-ada karena semangat Islam masuk ke bumi nusantara yakni
syiar Islam, dan semangat kaum intelegensia muslim awal abad ke-20 untuk
memerdekakan Indonesia tercermin dalam dua tujuan awal berdirinya HMI
pada 5 Februari 1947 bertepatan dengan 14 Rabiul Awal 1366 H, yaitu (1)
mempertahankan Negara Republik Indonesia dan mempertinggi derajat rakyat
Indonesia, dan (2) menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam.
Petunjuk tertua tentang permulaan Islam dipeluk oleh penduduk bumi
nusantara ditemukan di bagian utara Sumatera, tepatnya di Pemakaman
Lamreh. Disana ditemukan nisan Sultan Sulaiman bin Abdullah bin al-Basir
yang wafat tahun 608 H/1211 M. Masuknya Islam ke bumi nusantara
memiliki makna yang sangat penting bagi penduduk bumi nusantara. Karena
pada periode itu Islam sedang mengalami puncak kejayaan sebagai suatu
peradaban dan bahkan pemimpin peradaban global. Pada masa-masa itu (abad
ke-5 s.d. 7 H), hidup pemikir-pemikir besar dunia (Islam), seperti Ibnu
Sina (wafat 428 H/1037 M), Al Ghazali (wafat 505 H/1111 M), Ibn Rusyd
(wafat 594 H/1198 M), dan Ibn Taymiyyah (wafat 728 H/1328 M). Dengan
demikian, Islam yang masuk ke Indonesia adalah Islam yang sudah mapan
sebagai suatu ajaran agama dan peradaban sehingga merupakan hal yang
sudah sepatutnya apabila M.C. Ricklefs, profesor kehormatan di Monash
University Australia menulis buku A History of Modern Indonesia Since c.
1200untuk menggambarkan sejarah Indonesia modern yang dimulai dari
sejak pertama kali Islam dipeluk penduduk bumi nusantara.
Kata ‘modern’ yang disematkan kepada bumi nusantara yang kemudian
dikenal dengan ‘Indonesia’ sejak tahun 1200-an tersebut menunjukkan
bahwa peradaban di bumi nusantara ketika itu belum modern karena berada
di bawah kekuasaan feodalisme Hindu-Budha dan Islam hadir dengan membawa
kemodernan. Dengan kata lain, Islam membawa misi memodernkan penduduk
di bumi nusantara (Indonesia). Misi Islam untuk memodernkan penduduk
bumi nusantara tidaklah berlangsung dengan mudah dan lancar karena pada
saat yang bersamaan dengan mulai masuknya Islam ke bumi nusantara,
hinduisme dan budhisme mulai menemukan puncak kejayaannya di bumi
nusantara dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1294 M) dan berkembang
menjadi kerajaan terbesar di Asia Tenggara hingga runtuh pada 1478 M.
Proses Islamisasi yang berjalan secara damai di bumi nusantara, terutama
di daerah Utara Sumatera berhasil menunjukkan eksistensinya dengan
tampilnya kerajaan Islam di Aceh. Sebelum kira-kira tahun 1500, Aceh
belumlah begitu menonjol. Sultan pertama kerajaan yang sedang tumbuh ini
adalah Ali Mughayat Syah (m.1514-30). Selama masa pemerintahannya,
sebagian besar komunitas dagang Asia yang bubar karena direbutnya Malaka
oleh Portugis menetap di Aceh. Aceh kemudian tumbuh menjadi salahsatu
kerajaan terkuat di kawasan Malaya-Nusantara. Islam yang sedang tumbuh
dan mulai membangun peradabannya di bumi nusantara pasca keruntuhan
Majapahit sempat terinterupsi selama 3,5 abad (1596-1942 M) ketika bumi
nusantara dijajah oleh VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda. Pada masa
itu, penduduk bumi nusantara yang mayoritasnya telah muslim kehilangan
kekuasaan baik secara ekonomi maupun politik sehingga tidak dapat dengan
leluasa menjalankan misinya, yakni memodernkan penduduk bumi nusantara.
Kondisi ini dipersulit dengan kemunduran peradaban dunia Islam pada
umumnya sejak abad ke-15 M. Pada masa itu, muslim di bumi nusantara
dengan kerajaan-kerajaannya seperti Aceh, Demak (didirikan pada perempat
terakhir abad ke-15 M), Cirebon (berdiri akhir abad ke-15 M), Banten
(berdiri abad ke-16 M), Pajang dan Mataram (berdiri pertengahan kedua
abad ke-16 M), Gowa (raja Gowa memeluk Islam tahun 1605, awal abad
ke-17), Ternate, Tidore dan sejumlah kerajaan lain yang lebih kecil;
serta dengan dinamika internal yang rumit di bawah kepemimpinan sultan
dan ulama serta kaum intelegensia sejak abad ke-20 M, selama ratusan
tahun berusaha mengusir VOC dan Pemerintah Kolonial Belanda, merebut
dominasi ekonomi dan politik di bumi nusantara dari tangan mereka.
Ikhtiar untuk merebut kembali kekuasaan ekonomi dan politik baru dapat
dilakukan secara signifikan pada awal abad ke-20 ketika mulai muncul
kaum intelegensia muslim sebagai produk pendidikan pemerintah kolonial
Belanda yang dikenal dengan politik etis pada akhir abad ke-19 M. Perlu
diketahui bahwa penduduk pribumi (bumiputera) ketika itu merupakan kelas
sosial ketiga setelah orang Eropa dan keturunan Asia (China, India, dan
Arab). Akses mereka terhadap ekonomi dan birokrasi pemerintahan sangat
terbatas dan sumber daya manusia mereka tidak pernah diberdayakan karena
pemerintah kolonial Belanda tidak pernah membuka akses pendidikan bagi
penduduk pribumi hingga diberlakukannya politik etis tersebut.
Ikhtiar merebut kekuasaan ekonomi dan politik tersebut memunculkan
gerakan nasionalisme Indonesia yang menginginkan kemerdekaan Indonesia
dari Belanda. Peranan Islam dalam kelahiran nasionalisme ini sangat
penting karena Islam merupakan media persemaian nasionalisme Indonesia
itu sendiri sejak awal hingga ke depannya. George Mc. Turnan Kahin dalam
buku Nationalism and Revolution in Indonesia melukiskan faktor-faktor
atau kondisi awal abad ke-20 yang berperan melahirkan nasionalisme
Indonesia sebagai berikut. Pertama, munculnya gerakan Pan-Islam
(terinspirasi oleh Mohammad Abduh, Kairo) yang dibawa mahasiswa yang
pulang belajar. Kahin menulis: Agama Islam tidak begitu saja menyerap
nurani suatu kebangsaan secara pasif. Agama ini menjadi pengadaan
saluran dini dari perkembangan nasionalisme yang matang, nasionalisme
modern, suatu saluran yang sampai sekarang masih sangat penting.
Kedua, lahirnya pemimpin atau elit terpelajar pribumi yang justru
dilahirkan oleh pendidikan barat yang digerakkan Pemerintah Belanda
sendiri. Kahin menyimpulkan: Perhatian Belanda yang terlalu besar
terhadap bahaya-bahaya Pan-Islam menyebabkan mereka tidak terlalu
mengacuhkan bahaya-bahaya yang terkandung dalam pergerakan Modernis
terhadap rezim mereka. Sementara itu, senjata yang mereka pilih untuk
memerangi Pan-Islam, yaitu pendidikan Barat, segera tumbuh menjadi mata
pisau kedua yang memotong ke arah lain. Ini benar-benar merupakan suatu
ironi bagi pemerintahan Belanda, karena cara-cara yang dipilih untuk
membela rezim kolonial dari ancaman Pan-Islam yang dibesar-besarkan,
justru berkembang ke dalam salah satu kekuatan yang paling potensial
untuk mengalahkan rezim tersebut.
Ketiga, kaum terpelajar, dengan mata pisau analisa yang mereka peroleh
selama pendidikan di Belanda sendiri mulai merasakan adanya
ketidakberesan kondisi negaranya. Mereka juga dapat membandingkan
kondisi di negeri Belanda sendiri dengan kondisi di tanah air. Mereka
juga merasakan diskriminasi dalam pekerjaan di Pemerintah Hindia Belanda
dan mulai tumbuh perasaan tidak menerima perlakukan tersebut.
Akibatnya, mereka menuntut diperlakukan setara karena mereka pun merasa
kaum terpelajar yang sederajat dengan pegawai-pegawai Belanda. Mereka
tidak menerima bila gaji mereka dibayar lebih murah dari pegawai Belanda
dalam pemerintahan Hindia belanda. Selain itu, Pengalaman bekerja di
pemerintahan Hindia Belanda juga menumbuhkan keyakinan bahwa elit
pribumi tersebut merasa yakin dan mampu memerintah bangsanya sendiri.
Tiga kondisi utama di intern (elit) masyarakat Hindia Belanda di awal
abad ke-20 inilah yang mengkristalkan kelahiran atau asal mula kesadaran
nasionalisme Indonesia, disamping perkembangan di Negeri Belanda dan
dunia internasional. Kesadaran ini diperjuangkan melalui organisasi
pergerakan nasional yang kemudian banyak bermunculan. Senada dengan
Kahin, Yudi Latif dalam Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia
menggambarkan bahwa lahirnya Republik Indonesia tidak terlepas dari
terbentuknya suatu ’blok historis’ yang disebutnya kaum intelegensia
muslim. Kaum intelegensia muslim inilah yang karena kesadaran atas
ketertinggalan dan penderitaan rakyat Hindia Belanda ketika itu bertekad
dan berjuang memerdekakan Hindia Belanda dan berhasil mendirikan Negara
Republik Indonesia.
Latar sejarah di atas, dengan tegas menuturkan kepada kita bahwa
hadirnya Islam di Indonesia adalah untuk memperbaiki kualitas hidup
penduduk bumi nusantara, menghantarkannya pada tingkat peradaban yang
lebih tinggi sebagaimana Muhammad diutus ke muka bumi. Ikhtiar tersebut
sempat terinterupsi oleh hadirnya penjajah Belanda pada akhir abad ke-16
hingga pertengahan abad ke-20. Kini bangsa Indonesia, yang mayoritasnya
muslim, secara legal-formal telah dapat memegang kembali kendali atas
bumi nusantara dengan berdirinya Negara Republik Indonesia di atasnya.
Namun demikian, apakah semangat yang dicita-citakan Islam sehingga ia
masuk ke bumi nusantara abad ke-13 dan menjadi media persemaian
nasionalisme Indonesia pada permulaan abad ke-20 telah tercapai? Yudi
Latif menggambarkan sejarah HMI dalam kontinuitas sejarah genealogi
intelegensia muslim sebagai suatu blok historis yang memiliki peranan
penting dalam kesejarahan Indonesia khususnya sejak awal abad ke-20.
Sehingga tidak berlebihan bila HMI kerapkali mengidentikkan diri sebagai
anak kandung umat dan bangsa, serta juga tidak berlebihan apabila
Jenderal Besar Sudirman menyebutkan HMI bukan saja kepanjangan dari
Himpunan Mahasiswa Islam, melainkan juga Harapan Masyarakat Indonesia.
Dalam perjalanannya, HMI memiliki fase kesejarahannya sendiri dalam
interaksinya dengan umat dan bangsa.
Prof. Dr. H. Agussalim Sitompul, sejarawan HMI, membagi kesejarahan HMI
dalam lima zaman perjalanan HMI dan 10 fase perjuangan, yakni, pertama,
zaman perang kemerdekaan dan masa kemerdekaan (1946-1949) yang dibagi
dalam fase konsolidasi spiritual dan proses berdirinya HMI (November
1946-5 Februari 1947), fase berdiri dan pengokohan (5 Februari-30
November 1947), dan fase perjuangan bersenjata dan perang kemerdekaan,
dan menghadapi pengkhianatan dan pemberontakan PKI I (1947-1949). Kedua,
zaman liberal (1950-1959). Pada masa ini HMI sibuk membina dan
membangun dirinya sehingga menjadi organisasi yang solid dan tumbuh
membesar. Bulan Juli 1951 PB HMI dipindahkan dari Yogyakarta ke Jakarta.
Ketiga, zaman organisasi terpimpin atau zaman Orde Lama (1950-1965).
Zaman ini dibagi dua fase, yakni fase pembinaan dan pengembangan
organisasi (1950-1963), dan fase tantangan I (1964-1965). Pada fase
tantangan I, HMI menghadapi upaya pembubaran oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI) yang dihadapi HMI dengan strategi PKI (Pengamanan,
Konsolidasi, dan Integrasi). Pada masa ini juga Ketua HMI, Mar’ie
Muhammad pada 25 Oktober 1965 berinisiatif mendirikan KAMI (Kesatuan
Aksi Mahasiswa Indonesia). Keempat, zaman Orde Baru (1966-1998). Zaman
ini dibagi ke dalam fase kebangkitan HMI sebagai pejuang Orde Baru dan
pelopor kebangkitan angkatan 66 (1966-1968), fase partisipasi HMI dalam
pembangunan (1969-sekarang), dan fase pergolakan dan pembaruan pemikiran
(1970-1998) yang ”gong”-nya dilakukan Nurcholish Madjid (Ketua Umum PB
HMI ketika itu) dengan menyampaikan pidatonya dengan topik ”Keharusan
Pembaruan Pemikiran dalam Islam dan Masalah Integrasi Umat” tahun 1970
di Taman Ismail Marzuki. Kelima, zaman reformasi (1998 – sekarang).
Zaman ini dibagi dalam fase reformasi (1998-2000) dan fase tantangan II
(2000-sekarang). Dalam fase tantangan II HMI dituntut dapat terus eksis
meskipun alumninya banyak tertimpa musibah dan HMI digerogoti berbagai
macam permasalahan termasuk konflik internal yang ditingkat PB HMI
sempat menimbulkan dua kali dualisme kepemimpinan.
Dalam mengenali kesejarahan HMI misalkan juga ditampilkan dalam
pendekatan ‘gelombang’ atau karakteristik utama dari tahun-tahun
kesejarahan HMI.[16] Dalam perspektif kesejarahan ini, tahun 1947-1960an
merupakan era ‘gelombang heroisme’ yang ditandai dengan keseluruhan
gerak HMI yang diabdikan ke dalam perjuangan untuk mempertahankan
eksistensi negara sekaligus eksistensi HMI dari segala hal yang berupaya
menggugat dan menghancurkannya. Pada masa ini, HMI dihadapkan pada
upaya pendudukan kembali penjajah Belanda, perpecahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia, dan penyebaran faham komunisme oleh Partai Komunis
Indonesia. Gelombang berikutnya adalah intelektualisme. Gelombang ini
dihasrati oleh gairah mewujudkan kontribusi HMI, ber-itjihad, atas
kemandekan berpikir dalam tradisi Islam di Indonesia. Gelombang ini
mulai muncul tahun 1960-an akhir hingga tahun 1980-an dan memunculkan
gelombang pembaruan pemikiran Islam yang sangat menonjol dengan icon
utamanya Nurcholish Madjid (alm). Meski gelombang intelektualisme ini
terus berkembang dan bermetamorfosa di luar HMI, namun di dalam HMI,
gelombang ini segera digantikan dengan ‘gelombang politisme’.
Gelombang politisme mengusung dominasi logika kekuasaan dan mainstream
berpikir politis dalam tubuh dan aktivis HMI. Gelombang ini diawali
dengan pemaksaan asas tunggal oleh penguasa Orde Baru pada tahun 1980-an
awal. Logika kekuasaan tersebut membekas sangat kuat, karena “memaksa”
HMI untuk lebih erat dengan kekuasaan negara. Akibatnya, HMI larut dalam
logika kekuasaan tersebut dan menghantarkan HMI pada gelombang
berikutnya, yaitu ‘gelombang beku’ (freezed) di akhir tahun 1990-an
hingga saat ini. Gelombang beku ditandai dengan tampilnya generasi
aktivis HMI yang memitoskan generasi sebelumnya, berlindung dan menuai
keberkatan dari kebesaran generasi sebelumnya. Maka jangan heran bila
saat ini banyak kader yang cenderung berpikir pragmatis, minim
inisiatif, dan miskin kreatifitas. Dengan demikian menjadi wajar apabila
generasi ini juga mudah larut dalam agenda politik pihak eksternal dan
berkonflik di internal ketimbang menjunjung tinggi persatuan dan program
membangun HMI. Gelombang beku merupakan titik nadir dari produk
gelombang politisme.
HMI telah mengakumulasi fakta-fakta sosial dan pengetahuan dalam dirinya
selama 60 tahun. Fakta-fakta sosial dan pengetahuan tersebut –-dalam
perspektif arkeologi pengetahuan Michel Foucault— membentuk suatu sistem
pengetahuan tersendiri melalui proses diskursif yang rumit dimana
terdapat proses seleksi, distribusi, dan sirkulasi wacana di dalamnya.
Dalam proses diskursif tersebut terdapat fakta-fakta sosial dan
pengetahuan yang dapat terus eksis, bahkan muncul sebagai “pemenang” dan
menjadi ‘arus utama’ namun juga ada fakta-fakta sosial dan pengetahuan
yang jadi “pecundang” dan terpinggirkan. Oleh karena itu, dalam wacana
keagamaan di HMI misalnya, berkembang beragam wacana. Namun proses
diskursif nampaknya memenangkan wacana keagamaan yang berwatak
modern-moderat-inklusif dan wacana keagamaan lain seperti yang
tradisional-radikal-eksklusif menjadi pecundang. Proses diskursif juga
nampaknya kini telah memenangkan kerangka berpikir political oriented
dan menyisihkan kerangka berpikir berorientasi keilmuan dan profesi.
Kemudian, dalam political oriented, yang dominan bukan yang
mengedepankan pengaruh atau politik kebudayaan melainkan yang
mengedepankan jabatan politik atau politik struktural.
Pemaparan beberapa perspektif dalam mengenali sejarah HMI di atas
menjelaskan beberapa hal. Pertama, HMI telah berhasil meletakkan dirinya
dalam kanvas kesejarahan Indonesia dan umat Islam di Indonesia sehingga
menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sejarah Indonesia dan umat
Islam di Indonesia. Hal ini tentu saja disebabkan karena sikap HMI yang
memandang Indonesia dan Islam sebagai satu kesatuan integratif yang
tidak perlu dipertentangkan. Kedua, karakteristik perilaku interaksi HMI
dengan umat dan bangsa Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi
sosial-politik yang terjadi pada umat dan bangsa, utamanya dalam konteks
bernegara. Ketiga, dalam interaksinya tersebut, HMI coba bersikap
kooperatif terhadap arus dominan dengan tetap menjaga identitas dirinya
yang pokok. Keempat, sejarah HMI adalah sejarah panjang yang didalamnya
terdapat dinamika internal HMI yang sangat dinamis, kaya, dan rumit.
Sehingga corak dominan yang tampil pada merupakan produk seleksi wacana
yang bersifat temporer dan akan segera digantikan oleh corak yang lain
apabila tidak ”pintar” mempertahankan diri di tengah pertarungan wacana
yang dinamis, kaya, dan rumit tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar